Sabtu, 06 Juli 2013

Lukisan Bintang Senja


Malam ini langit begitu gelap nan pekat, tak ada satu pun cahaya yang mampu membuatku diam terpesona. Ribuan bintang yang biasanya menemani malam dengan segala keindahannya, dengan segala bentuknya yang memiliki makna tersirat, kini tak menampakkan wajahnya. Udara malam berhembus cepat, menyapa rambutku yang ikal. Aku menatap hamparan langit nan luas dengan tatapan kosong.
Namaku Dewa, aku memiliki saudara kembar yang bernama Dewo. Kami sangat berbeda. Mengapa begitu? Karena sejak lahir aku terlahir cacat. Lebih tepatnya lagi cacat mental. Entahlah, mengapa hanya aku yang terlahir cacat sedangkan saudara kembarku sama sekali tidak cacat. Akan tetapi aku bahagia memiliki saudara kembar seperti Dewo, dia begitu menyayangiku dengan tulus. Ia tak pernah malu memiliki saudara kembar sepertiku.
            “Dewa, kamu ngapain di sini sendirian?” Dewo menyapaku sambil mengelus rambut ikalku.
            Percuma, aku ingin menjawab pasti Dewo tidak akan mengerti apa yang aku katakan. Walaupun aku tahu kak Dewo dan ibu adalah orang yang paling mengerti dan memahamiku.
            “Kau tahu Dewa? Aku sangat bahagia dan bangga memiliki saudara kembar sepertimu. Aku tahu kau anak yang hebat, meski mereka menilaimu sebelah mata. Aku tahu kau telah memiliki puluhan karya lukisanmu. Dewa, maafkan aku yang terkadang tidak memahami sinyal yang kau tujukan untukku.” Dewa menatapku dengan tatapan penuh kasih sayang, ia mendekapku erat.
***
            Usiaku kini sudah lima belas tahun, namun aku masih seperti anak SD. Meskipun aku tahu aku tidaklah seperti Dewo yang tumbuh sebagai remaja yang sangat gagah dan tampan, kecerdasannya yang mampu membuat semua orang yang berada di dekatnya merasa bangga padanya. Aku bangga memiliki saudara kembar seperti dia. Dia yang dengan sabar mengajariku menulis dan membaca. Kini aku pun sudah bisa membaca dan menulis dengan baik, walau tidak sempurna, tapi aku bersyukur.
            Hari ini adalah hari yang dinantikan Dewo. Ia mengikuti lomba Sains, lebih tepatnya mengikuti lomba Biologi. Ketika Dewo mulai berbicara dan menjelaskan ilmu Biologi itu, semua orang terpana melihatnya. Bukan karena ketampanannya, akan tetapi karena dia yang begitu lihai menjelaskan serta memperagakan apa yang ada di depannya. Ia pun juara satu.
            “Wah Dewo, kamu hebat! Selamat ya, aku salut sama kamu.” Sheina memuji Dewo, perempuan itu sejak SMP memang suka dengan Dewo.
            “Selamat ya Dewo, anakmu hebat sekali Rosa. Dia memang anak yang cerdas, tapi tidak seperti Dewa yang hanya seperti patung.” Ibu Desi memuji Dewo sekaligus menjatuhkanku.
            “Tutup mulut Anda! Dia jauh lebih hebat dari saya, jangan pernah Anda berkata seperti itu.” Dewo membentak bu Desi, salah satu orang tua murid temannya Dewo.
            “Sudah Dewo, kamu tidak perlu emosi. Biarkan orang lain menghina atau memandang Dewa sebelah mata, tapi aku yakin suatu hari nanti Dewa akan menjadi orang hebat. Sama sepertimu.” Ibu menasihatiku.
            “Halah, anak kayak gitu aja diharapin banget. Anak bodoh, cacat, nggak berguna lagi, hidup lagi! Autis.” Kak Selvi berkata kasar di dekat telingaku.
            “Tutup mulut kamu Selvi!” ibu menampar Selvi.
            “Justru kakak yang jauh lebih bodoh dari Dewa! Selama ini memang kakak sudah melakukan apa untuk ibu, untuk keluarga kita? Bukankah selama ini kakak hanya bisa menghamburkan uang untuk kepuasan dan nafsu kakak? Sadar kak, kakak tuh jauh lebih hina daripada Dewa!” bentak Dewo.
            “Cukup! Kalian tidak perlu bertengkar di sini!” ibu membentak Dewo dan kak Selvi. Suasana menjadi hening.
            Aku mengerti apa yang mereka bicarakan. Aku bisa merasakan, walau mungkin mereka berfikir aku sama sekali tidak mengerti. Aku ingin berlari secepat mungkin tapi aku tak bisa, seolah ada yang menahan kakiku untuk melangkahkan kaki dan berlari cepat. Aku ingin menangis, tapi untuk apa aku menangis? Aku ingin menjerit, tapi di tenggorakkanku seperti ada yang mengganjal.
***
            Sesampai di rumah ternyata ayah sudah menunggu kami. Lebih tepatnya lagi menunggu Dewo, menunggu berita yang menggembirakan. Lalu apa yang bisa aku banggakan? Entahlah, mungkin Allah sedang mempersiapkan rencana yang jauh lebih indah.
            “Gimana Dewo, kamu berhasil Nak?” tanya ayah penasaran.
            “Alhamdulillah Yah, juara satu.” Dewo tersenyum hangat.
            “Wah, selamat ya. Ayah yakin kamu pasti menag.” Ayah menepuk bahu Dewo.
            “Hai, Dewa! Apa yang bisa kamu berikan untuk Ayah? Kamu ini sama sekali tidak berguna di rumah ini, hanya bisa menyusahkan orang lain.” Ayah menatapku tajam..
            “Kenapa Ayah dan kak Selvi nggak pernah bisa nerima Dewa dengan baik? Kenapa kalian selalu saja menghina dan memandang sebelah mata? Akan aku buktikan kepada kalian, bahwa Dewa adalah anak yang hebat. Siapa pun yang menyakiti Dewa, maka aku yang akan melindunginya. Sekalipun itu keluargaku sendiri yang melakukan. Camkan itu!” Dewo membanting buku yang sedari tadi ia pegang, lantas bergegas menuju kamarnya.
            Aku melangkahkan kaki ke taman belakang. Aku rebahkan tubuhku di atas rerumputan yang lembut. Menyaksikan burung-burung camar yang mengepakkan sayapnya sambil menari indah. Menyaksikan warna jingga yang melukiskan senja. Aku bahagia setiap aku melihat ke luar sana. Menyaksikan senja serta menatap hamparan langit yang indah penuh pesona. Itulah caraku untuk melepaskan semua rasa sesak yang aku rasakan, juga untuk tetap bersyukur dengan yang Maha mencintai.
            “Dewo, ibu boleh masuk Nak?” ibu mengetuk pintu kamar Dewo.
            “Kenapa Bu?” tanya Dewo.
            Ibu langsung menghampiri Dewo dan menggenggam erat tangan Dewo.
            “Nak, ibu percaya apa yang tadi kamu ucapkan. Suatu hari nanti pasti Dewa bisa menjadi orang hebat. Kau tahu? Beberapa minggu yang lalu ibu menemukan lukisan yang sangat indah sekali, walau ibu tidak tahu apa maknanya.” Ibu menatap Dewo dengan tatapan mata yang bercahaya.
            “Aku sudah sering melihat lukisan Dewa, Bu. Sejak aku masih SD dia memang sangat suka melukis.” Dewo tersenyum manis.
            “Iya ibu percaya Nak. Di mana Dewa sekarang? Dia nggak ada di kamarnya, ibu kira dia ada di sini.” Ibu menanyakan keberadaan Dewa.
            “Aku juga tidak tahu Bu, coba kita cari keluar. Siapa tahu dia ada di taman belakang, dia sangat suka tiduran di sana Bu.” Dewo mengajak ibu ke taman belakang.
            Sebelum ibu dan Dewo ke taman belakang ia menuju kamarku. Melihat semua lukisan yang kubuat juga tiga puisi yang kubuat. Aku sudah banyak melukiskan tentang sesuatu dan salah satu lukisan yang paling aku sukai ialah lukisan bintang senja, aku juga membuat puisi yang berjudul lukisan bintang senja. Lalu ibu membacakan puisiku yang berjudul lukisan bintang senja.
            Aku melihat warna jingga yang meghamburkan warnanya dengan segala keindahannya, jingga yang menggambarkan lembayung senja penuh kehangatan. Aku menatap hamparan langit luas penuh pesona, menyaksikan ribuan bintang bersinar terang menemani sang malam. Jika aku bisa mengambil bintang itu untuk menemani senja, maka akan kuambil bintang itu dengan tanganku sendiri. Bintang yang menemani senja dengan kehangatannya, sehingga mampu membuat yang memandangya penuh pesona, menatap penuh takjub dan bahagia. Dengan bintang senja semua akan terdiam, semua luka dan duka yang tersimpan dalam lubuk hati akan terhapus tanpa sisa.
            “De.. Dewo baca ini baik-baik.” Ibu memberikan kertas itu kepada Dewo.
            Mereka menangis setelah membaca puisi dan lukisan yang kubuat. Lalu segera menemuiku.
            “Dewo, ternyata kamu di sini.” Ibu dan Dewo mendekapku penuh kehangatan dan kasih sayang.
            “Sayang, kamu hebat. Semua lukisanmu sangatlah indah. Terutama lukisan ini.” Ibu menyodorkan lukisan yang kubuat.
            “Puisimu juga bagus Dewa, sungguh pandai kau dalam bermain kata.” Dewo memelukku erat.
***
            Keesokan harinya ibu dan Dewo mengirimkan lukisan dan puisi yang kubuat melalui media. Semua lukisanku diperlihatkan, dipajang dengan rapi. Semua mata memandang penuh takjub. Dan sehari setelah berlalu, media pun ramai. Bukan ramai karena berita selebritis, tapi karena lukisan yang kubuat. Mereka yang melihat memuji karyaku, dan ada turis yang melihat lukisan bintang senja. Ia tertarik dan ingin membelinya dengan harga yang sangat dahsyat. Juga dengan puisiku, mereka terharu membaca puisiku. Semua saluran televisi menayangkan berita itu. Dunia seolah menjadi milikku. Tapi dunia menjadi milikku seutuhnya ketika aku masih bisa berada di dekat ibu dan Dewo.
            “Kalian lihat kan Yah, Kak. Dewo itu hebat, dan hari ini aku bisa buktikan itu!” Dewa tersenyum bahagia.
            Begitulah kuasa-Nya. Aku tersenyum manis pada lembayung senja yang melukis sore. Aku tersenyum bahagia melihat dedaunan yang melambai-lambai. Aku menatap penuh pesona ketika sang malam ditemani ribuan bintang yang melambangkan senyum kepadaku. Aku merasakan hembusan udara yang begitu lembut dan segar lagi. Aku menyaksikan bunga-bunga indah merekah indah penuh warna lagi wangi semerbak. Aku melihat lukisan bintang senja di langit sana, di temani dengan burung-burung yang mengepakkan sayapnya dengan indah dan begitu lihainya.
***
The End