Malam ini langit begitu gelap nan pekat, tak ada satu pun cahaya yang mampu membuatku diam terpesona. Ribuan bintang yang biasanya menemani malam dengan segala keindahannya, dengan segala bentuknya yang memiliki makna tersirat, kini tak menampakkan wajahnya. Udara malam berhembus cepat, menyapa rambutku yang ikal. Aku menatap hamparan langit nan luas dengan tatapan kosong.
Namaku Dewa, aku memiliki saudara kembar
yang bernama Dewo. Kami sangat berbeda. Mengapa begitu? Karena sejak lahir aku
terlahir cacat. Lebih tepatnya lagi cacat mental. Entahlah, mengapa hanya aku
yang terlahir cacat sedangkan saudara kembarku sama sekali tidak cacat. Akan
tetapi aku bahagia memiliki saudara kembar seperti Dewo, dia begitu
menyayangiku dengan tulus. Ia tak pernah malu memiliki saudara kembar
sepertiku.
“Dewa,
kamu ngapain di sini sendirian?” Dewo menyapaku sambil mengelus rambut ikalku.
Percuma,
aku ingin menjawab pasti Dewo tidak akan mengerti apa yang aku katakan.
Walaupun aku tahu kak Dewo dan ibu adalah orang yang paling mengerti dan
memahamiku.
“Kau
tahu Dewa? Aku sangat bahagia dan bangga memiliki saudara kembar sepertimu. Aku
tahu kau anak yang hebat, meski mereka menilaimu sebelah mata. Aku tahu kau
telah memiliki puluhan karya lukisanmu. Dewa, maafkan aku yang terkadang tidak
memahami sinyal yang kau tujukan untukku.” Dewa menatapku dengan tatapan penuh
kasih sayang, ia mendekapku erat.
***
Usiaku
kini sudah lima belas tahun, namun aku masih seperti anak SD. Meskipun aku tahu
aku tidaklah seperti Dewo yang tumbuh sebagai remaja yang sangat gagah dan
tampan, kecerdasannya yang mampu membuat semua orang yang berada di dekatnya
merasa bangga padanya. Aku bangga memiliki saudara kembar seperti dia. Dia yang
dengan sabar mengajariku menulis dan membaca. Kini aku pun sudah bisa membaca
dan menulis dengan baik, walau tidak sempurna, tapi aku bersyukur.
Hari
ini adalah hari yang dinantikan Dewo. Ia mengikuti lomba Sains, lebih tepatnya
mengikuti lomba Biologi. Ketika Dewo mulai berbicara dan menjelaskan ilmu
Biologi itu, semua orang terpana melihatnya. Bukan karena ketampanannya, akan
tetapi karena dia yang begitu lihai menjelaskan serta memperagakan apa yang ada
di depannya. Ia pun juara satu.
“Wah
Dewo, kamu hebat! Selamat ya, aku salut sama kamu.” Sheina memuji Dewo,
perempuan itu sejak SMP memang suka dengan Dewo.
“Selamat
ya Dewo, anakmu hebat sekali Rosa. Dia memang anak yang cerdas, tapi tidak
seperti Dewa yang hanya seperti patung.” Ibu Desi memuji Dewo sekaligus
menjatuhkanku.
“Tutup
mulut Anda! Dia jauh lebih hebat dari saya, jangan pernah Anda berkata seperti
itu.” Dewo membentak bu Desi, salah satu orang tua murid temannya Dewo.
“Sudah
Dewo, kamu tidak perlu emosi. Biarkan orang lain menghina atau memandang Dewa
sebelah mata, tapi aku yakin suatu hari nanti Dewa akan menjadi orang hebat.
Sama sepertimu.” Ibu menasihatiku.
“Halah,
anak kayak gitu aja diharapin banget. Anak bodoh, cacat, nggak berguna lagi,
hidup lagi! Autis.” Kak Selvi berkata
kasar di dekat telingaku.
“Tutup
mulut kamu Selvi!” ibu menampar Selvi.
“Justru
kakak yang jauh lebih bodoh dari Dewa! Selama ini memang kakak sudah melakukan
apa untuk ibu, untuk keluarga kita? Bukankah selama ini kakak hanya bisa
menghamburkan uang untuk kepuasan dan nafsu kakak? Sadar kak, kakak tuh jauh
lebih hina daripada Dewa!” bentak Dewo.
“Cukup!
Kalian tidak perlu bertengkar di sini!” ibu membentak Dewo dan kak Selvi.
Suasana menjadi hening.
Aku
mengerti apa yang mereka bicarakan. Aku bisa merasakan, walau mungkin mereka
berfikir aku sama sekali tidak mengerti. Aku ingin berlari secepat mungkin tapi
aku tak bisa, seolah ada yang menahan kakiku untuk melangkahkan kaki dan
berlari cepat. Aku ingin menangis, tapi untuk apa aku menangis? Aku ingin
menjerit, tapi di tenggorakkanku seperti ada yang mengganjal.
***
Sesampai
di rumah ternyata ayah sudah menunggu kami. Lebih tepatnya lagi menunggu Dewo,
menunggu berita yang menggembirakan. Lalu apa yang bisa aku banggakan? Entahlah,
mungkin Allah sedang mempersiapkan rencana yang jauh lebih indah.
“Gimana
Dewo, kamu berhasil Nak?” tanya ayah penasaran.
“Alhamdulillah Yah, juara satu.” Dewo
tersenyum hangat.
“Wah,
selamat ya. Ayah yakin kamu pasti menag.” Ayah menepuk bahu Dewo.
“Hai,
Dewa! Apa yang bisa kamu berikan untuk Ayah? Kamu ini sama sekali tidak berguna
di rumah ini, hanya bisa menyusahkan orang lain.” Ayah menatapku tajam..
“Kenapa
Ayah dan kak Selvi nggak pernah bisa nerima Dewa dengan baik? Kenapa kalian
selalu saja menghina dan memandang sebelah mata? Akan aku buktikan kepada kalian,
bahwa Dewa adalah anak yang hebat. Siapa pun yang menyakiti Dewa, maka aku yang
akan melindunginya. Sekalipun itu keluargaku sendiri yang melakukan. Camkan itu!”
Dewo membanting buku yang sedari tadi ia pegang, lantas bergegas menuju
kamarnya.
Aku
melangkahkan kaki ke taman belakang. Aku rebahkan tubuhku di atas rerumputan
yang lembut. Menyaksikan burung-burung camar yang mengepakkan sayapnya sambil
menari indah. Menyaksikan warna jingga yang melukiskan senja. Aku bahagia
setiap aku melihat ke luar sana. Menyaksikan senja serta menatap hamparan
langit yang indah penuh pesona. Itulah caraku untuk melepaskan semua rasa sesak
yang aku rasakan, juga untuk tetap bersyukur dengan yang Maha mencintai.
“Dewo,
ibu boleh masuk Nak?” ibu mengetuk pintu kamar Dewo.
“Kenapa
Bu?” tanya Dewo.
Ibu
langsung menghampiri Dewo dan menggenggam erat tangan Dewo.
“Nak,
ibu percaya apa yang tadi kamu ucapkan. Suatu hari nanti pasti Dewa bisa
menjadi orang hebat. Kau tahu? Beberapa minggu yang lalu ibu menemukan lukisan yang
sangat indah sekali, walau ibu tidak tahu apa maknanya.” Ibu menatap Dewo
dengan tatapan mata yang bercahaya.
“Aku
sudah sering melihat lukisan Dewa, Bu. Sejak aku masih SD dia memang sangat
suka melukis.” Dewo tersenyum manis.
“Iya
ibu percaya Nak. Di mana Dewa sekarang? Dia nggak ada di kamarnya, ibu kira dia
ada di sini.” Ibu menanyakan keberadaan Dewa.
“Aku
juga tidak tahu Bu, coba kita cari keluar. Siapa tahu dia ada di taman
belakang, dia sangat suka tiduran di sana Bu.” Dewo mengajak ibu ke taman
belakang.
Sebelum
ibu dan Dewo ke taman belakang ia menuju kamarku. Melihat semua lukisan yang
kubuat juga tiga puisi yang kubuat. Aku sudah banyak melukiskan tentang sesuatu
dan salah satu lukisan yang paling aku sukai ialah lukisan bintang senja, aku
juga membuat puisi yang berjudul lukisan bintang senja. Lalu ibu membacakan
puisiku yang berjudul lukisan bintang senja.
Aku
melihat warna jingga yang meghamburkan warnanya dengan segala keindahannya,
jingga yang menggambarkan lembayung senja penuh kehangatan. Aku menatap
hamparan langit luas penuh pesona, menyaksikan ribuan bintang bersinar terang
menemani sang malam. Jika aku bisa mengambil bintang itu untuk menemani senja,
maka akan kuambil bintang itu dengan tanganku sendiri. Bintang yang menemani senja
dengan kehangatannya, sehingga mampu membuat yang memandangya penuh pesona,
menatap penuh takjub dan bahagia. Dengan bintang senja semua akan terdiam,
semua luka dan duka yang tersimpan dalam lubuk hati akan terhapus tanpa sisa.
“De..
Dewo baca ini baik-baik.” Ibu memberikan kertas itu kepada Dewo.
Mereka
menangis setelah membaca puisi dan lukisan yang kubuat. Lalu segera menemuiku.
“Dewo,
ternyata kamu di sini.” Ibu dan Dewo mendekapku penuh kehangatan dan kasih
sayang.
“Sayang,
kamu hebat. Semua lukisanmu sangatlah indah. Terutama lukisan ini.” Ibu
menyodorkan lukisan yang kubuat.
“Puisimu
juga bagus Dewa, sungguh pandai kau dalam bermain kata.” Dewo memelukku erat.
***
Keesokan
harinya ibu dan Dewo mengirimkan lukisan dan puisi yang kubuat melalui media.
Semua lukisanku diperlihatkan, dipajang dengan rapi. Semua mata memandang penuh
takjub. Dan sehari setelah berlalu, media pun ramai. Bukan ramai karena berita
selebritis, tapi karena lukisan yang kubuat. Mereka yang melihat memuji
karyaku, dan ada turis yang melihat lukisan bintang senja. Ia tertarik dan
ingin membelinya dengan harga yang sangat dahsyat. Juga dengan puisiku, mereka
terharu membaca puisiku. Semua saluran televisi menayangkan berita itu. Dunia
seolah menjadi milikku. Tapi dunia menjadi milikku seutuhnya ketika aku masih
bisa berada di dekat ibu dan Dewo.
“Kalian
lihat kan Yah, Kak. Dewo itu hebat, dan hari ini aku bisa buktikan itu!” Dewa
tersenyum bahagia.
Begitulah
kuasa-Nya. Aku tersenyum manis pada lembayung senja yang melukis sore. Aku
tersenyum bahagia melihat dedaunan yang melambai-lambai. Aku menatap penuh
pesona ketika sang malam ditemani ribuan bintang yang melambangkan senyum
kepadaku. Aku merasakan hembusan udara yang begitu lembut dan segar lagi. Aku
menyaksikan bunga-bunga indah merekah indah penuh warna lagi wangi semerbak. Aku
melihat lukisan bintang senja di langit sana, di temani dengan burung-burung
yang mengepakkan sayapnya dengan indah dan begitu lihainya.
***
The End