Oleh Sholeh Ibnu Munawwir
Seseorang datang bertamu kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, namun ketika Rasul bertanya kepada istri-istrinya, tak seorangpun di antara mereka yang mempunyai simpanan makanan untuk menjamu tamu tersebut. Akhirnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menawarkan kepada para shahabatnya, beliau bersabda, "Barangsiapa di antara kalian yang mau menjamu tamu ini, maka Allah akan merahmatinya." Berdirilah seorang sahabat dari kalangan Anshar, seraya berkata, "Saya akan menjamunya wahai Rasulullah."
Akhirnya, diajaknyalah tamu tersebut pulang ke rumahnya. Sesampai di rumah, sahabat Anshar ini bertanya kepada istrinya, “Wahai istriku, apakah engkau masih memiliki sesuatu (makanan)?” Sang istri pun menjawab, “Tidak, selain sedikit persediaan (makanan) untuk anak-anak kita.” Maka spontan ia berkata kepada istrinya, “Rayulah anak-anak agar mereka bermain-main, sehingga lupa akan rasa lapar, lalu matikanlah lampu pada waktu makan, dan berpura-puralah bahwa kita juga sedang makan, pada saat tamu kita makan.”
Maka, pada waktu makan malam, dimatikanlah lampu di rumah tersebut, dan dihidangkannya makanan yang semestinya untuk anak-anak mereka, lalu mereka berpura-pura menyantap hidangan bersama sang tamu yang sedang menikmati makan malamnya.
Hingga pada pagi hari, ketika shahabat Anshar ini menghadap kepada Rasulullah, beliau berkata, "Allah heran dengan tingkah kalian berdua terhadap tamu kalian tadi malam," Lalu turunlah surat al-Hasyr ayat 9, berkaitan dengan kisah sahabat Anshar ini.
Mengutamakan Kebutuhan Saudaranya
Sungguh, kisah di atas bukanlah dongeng yang biasa diceritakan untuk anak-anak menjelang tidur, atau cerita-cerita fiksi yang ada di film dan sinetron di televisi. Kisah yang sangat menggugah dan mengagumkan di atas adalah teladan nyata yang dipertontonkan oleh salah satu generasi terbaik yang dimiliki oleh dunia, sebagaimana termaktub di dalam hadits Bukhari Muslim. Kisah yang sulit ditemukan padanannya, terlebih pada zaman modern ini yang mana manusia sudah terjangkiti penyakit egois dan individualis (Ananiyah). “Jangankan untuk berbagi kepada orang lain, untuk diri sendiri saja masih kurang,” begitu kita sering berdalih.
Padahal persediaan makanan dan bekal lain yang ada di rumah kita, bukan hanya cukup untuk satu hari atau satu minggu, namun persediaan untuk beberapa bulan ke depan pun sudah kita punyai, tetapi tak timbul sedikitpun rasa belas kasih dan keinginan berbagi kepada orang-orang di sekitar kita yang membutuhkan. Sementara sudah sama-sama kita hafal sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa kita belum beriman jika kita dalam keadaan kenyang (atau kekenyangan?), dan kita acuh dan abai terhadap orang-orang di sekitar kita yang bermalam dalam keadaan perut kosong karena tak mempunyai sedikitpun makanan di rumahnya.
Betapa shahabat Anshar ini begitu ikhlas dan hanya mencari ridha Allah dan Rasul-Nya, dengan mengutamakan agar kebutuhan saudaranya (bahkan orang yang baru dikenalnya) terpenuhi dengan mengabaikan dirinya dan keluarganya, Allah menurunkan ayat, “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Q.S Al-Hasyr : 9)
Itulah itsar, mendahulukan dan mengutamakan kepentingan dan kebutuhan orang lain dari diri sendiri, sedang diri sendiri juga dalam keadaan yang sangat membutuhkan. Sebuah akhlak mulia yang diukir dengan tinta emas dalam sejarah bagi pelaku-pelakunya, menembus ke langit hingga Allah Swt heran dan takjub.
Lebih Memilih Dunia
Sesungguhnya itsar bukanlah sesuatu yang utopia dan tidak mungkin kita hiaskan pada diri kita sebagai akhlak dan sifat kita, namun terkadang nafsu akan dunia sangat dominan bercokol di hati dan fikiran kita. Pertimbangan dan perhitungan untung rugi yang bersifat materi dan keduniaan sering kali membuat kita merasa berat jika kita ingin memberikan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan yang pada saat yang sama kita juga membutuhkan.
Hitunglah betapa seringnya kita memberikan isyarat dengan tangan kita kepada orang yang meminta-minta, sebagai tanda kalau kita tak hendak memberi, betapa seringnya kita menerima tamu di rumah kita sebagai beban yang merepotkan, padahal Rasulullah sudah mengingatkan kita barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia memuliakan tamunya. Atau betapa seringnya tetangga sebelah rumah kita hanya mencium harum dan sedapnya aroma makanan yang kita masak, tanpa pernah terfikir di benak kita untuk berbagi dengan mereka.
Kita tahu bahwa seberat dzarrah pun kebaikan, pasti Allah akan memberikan ganjaran dan pahalanya di akhirat nanti, namun perasaan kurang yakin dan egoisme yang ada di dada kita senantiasa menghalangi kita untuk berbuat baik, sehingga kita lebih mementingkan kebahagiaan di dunia dan mengabaikan kebahagiaan yang abadi di akhirat. Angan dan khayal kita tentang dunia senantiasa membumbung tinggi, sehingga lalai mempersiapkan kehidupan di akhirat dengan amal-amal shalih.
Bagi para pemujanya, dunia adalah segala-galanya. Yang mereka cari dan usahakan adalah kebahagiaan dunia an sich, dengan melupakan Allah dan akhirat. Sehingga saat kematian menjemputnya, kebahagiaanya terhenti sampai di situ, yang tinggal hanyalah sesal dan sengsara. Allah Swt berfirman tentang orang-orang ini, “Tetapi kalian lebih memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Q.S al-A’la : 16-17)
Itsar yang sering kita anggap sebagai sesuatu yang sulit dan berat kita lakukan, telah diabadikan dalam sejarah dengan tinta emas oleh para shahabat Rasul dengan sangat mengagumkan. Bukan hanya sebatas lapar dan haus yang mereka tanggung demi saudaranya, namun nyawa mereka persembahkan untuk Allah Swt, demi itsar terhadap saudaranya, sebagai teladan dan hikmah untuk kita. Insya Allah.
Dalam perang Yarmuk, dari Abdullah bin Mush'ab Az Zubaidi dan Hubaib bin Abi Tsabit, keduanya menceritakan, "Telah syahid al-Harits bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahal dan Suhail bin Amr. Mereka ketika itu akan diberi minum, sedangkan mereka dalam keadaan kritis, namun kesemuanya saling menolak. Ketika salah satu dari mereka akan diberi minum dia berkata, "Berikan dahulu kepada si fulan, demikian seterusnya sehingga semuanya meninggal dan mereka belum sempat meminum air itu.
Dalam riwayat lain perawi menceritakan, "Ikrimah meminta air minum, kemudian ia melihat Suhail sedang memandangnya, maka Ikrimah berkata, "Berikan air itu kepadanya." Dan ketika itu Suhail juga melihat al-Harits sedang melihatnya, maka iapun berkata, "Berikan air itu kepadanya (al Harits). Namun belum sampai air itu kepada al Harits, ternyata ketiganya telah meninggal tanpa sempat merasakan air tersebut (setetespun).
Wallahu A’lam.
sumber : http://www.eramuslim.com/oase-iman/sholeh-ibnu-munawwir-itsar.htm
Jumat, 18 Mei 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
bismillahirrohmanirrohiim
BalasHapusassalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh
Rasulullah bersabda yang artinya : "Makanlah buah zaitun dan pakailah minyaknya karena ia berasal dari pohon yang diberkahi." (Sunan At Tirmidzi 7/44, Shahih)
ingin pakai minyak zaitun seperti Rosululloh ? yuk order ke :
info dan pemesanan minyak zaitun,
silahkan menghubungi ym : berkah.sunnah
kami tidak hanya berdagang tetapi juga berdakwah
wassalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh
alhamdulillahi robbil'alamiin.